Minggu, 10 April 2011

GENERASI KETUJUH (Bagian keenam)

6. MASALAH WARISAN
Sinan! Perkenalkan. Ini teman Ando. Putireno. Mungkin Sinan pernah jumpa. Dia seorang penyair wanita Indonesia terkemuka yang sering membacakan puisi-puisinya tidak hanya di Indonesia tetapi juga di negara tetangga. Puisi-puisinya lebih banyak mengungkapkan obsesi terhadap sejarah yang selalu dikaburkan, kepedihan terhadap perampasan hak-hak warisan dan berbagai konflik dalam keluarga besar kaumnya.
Beberapa puluh tahun Ando tidak pernah bertemu dengannya. Sekarang dia pulang karena ada persoalan yang harus diselesaikannya. Lepas rasa rindu Ando pada teman selapik seketiduran ini. Kami bersahabat karib sekaligus menjadi musuh bebuyutan dalam beberapa pilihan dan jalan hidup. Ketika Ando tanyakan apa benar persoalan yang menyebabkannya harus menyelesaikan sendiri? Kan banyak saudara laki-laki yang dapat menyelesaikan. Apakah persoalan yang akan diselesaikan itu begitu pribadi? Suami? Ibu? Anak-anak? Putireno hanya tersenyum. Bila lelaki tak mampu lagi menyelesaikan persoalan kaumnya, perempuan berkewajiban turun menuntaskannya, jawabnya lirih. Tidak masanya lagi perempuan hanya mengandalkan lindungan dari laki-laki, menjadi sub-ordinat, embel-embel dari laki-laki, tetapi perempuan Minang harus kembali kefitrahnya, kekeberadannya. Perempuan Minang yang sesungguhnya adalah kubu, benteng terakhir dari eksistensi dan keberlangsungan hidup suatu perkauman.
Putireno jarang pulang karenanya kami jarang bertemu. Dia selalu pergi untuk berbagai urusan penelitian, observasi dan ceramah-ceramah. Dia juga sering bepergian bersama suaminya. Kalau tidak salah dia pernah pergi ke Amerika Serikat menghadiri International Writing Program di Iowa University, kemudian melakukan observasi teater modern Amerika dan Jepang, memenuhi undangan Raja Thailand menerima penghargaan South East Asia Writers Award bagi suaminya, ke Malaysia dan beberapa kerajaan di sana, memenuhi undangan beberapa kerabat diraja dari beberapa keraton Nusantara. Nama lengkapnya Ir.Puti Reno Raudhatuljannah Thaib,MP. Ando selalu memanggilnya Putireno. Tidak Ando pisahkan antara Puti dan Reno, supaya Ando bisa cepat mengucapkan namanya. Maksudnya tetap saja sama, Puti Reno. Teman Ando ini dilahiran di Pagaruyung pada 31 Agustus 1947. Dalam penulisan karya-karya sastranya dia selalu memakai nama pena Upita Agustine. Namanya tercantum dalam Leksikon Kesusastraan Indonesia Modern yang diterbitkan PT. Gramedia,1981 dengan editor Pamusuk Eneste. Ia juga tercatat dalam profil 200 Tokoh, Aktivis dan Pemuka Masyarakat Minangkabau Edisi I 1995-1996 yang diterbitkan oleh Perma Promotion dan Yayasan Bina Prestasi Minang Indonesia Jakarta 1995. Ia juga tercatat dalam 17 tokoh perempuan Minangkabau yang diterbitkan oleh FKAWIS Padang tahun 2002. Namanya juga tercatat dalam Ensiklopedi Sastra Indonesia dengan editor Dr.Hasanuddin WS. Tahun 2004. Ia merupakan salah seorang wanita penyair Indonesia, yang karya sastranya dalam bentuk puisi dan cerpen telah dipublikasikan di berbagai media massa nasional maupun luar negeri. Beberapa puisinya dimuat dalam Bunga rampai Sastra Indonesia: LAUT BIRU LANGIT BIRU, diterbitkan oleh PT. Dunia Pustaka Jaya Jakarta bekerjasama dengan Horst Erdmann Verlag, Tubingen Jerman Barat 1977. Puisi-puisinya dibahas oleh Korrie Layun Rampan dalam buku: Kesusastraan Tanpa Kehadiran Sastra, diterbitkan Yayasan ARUS Indonesia tahun 1984. Antologi Puisi Modern Indonesia “Tonggak 3” diterbitkan Gramedia Jakarta, 1986, Terlupa Dari Mimpi, kumpulan puisinya sendiri yang diterbitkan tahun 1986, Selection of Poems by Raudha Thaib; with Translation and Commentaries, Indonesian and Malay Studies, SOAS, 1990, Jurnal Puisi Melayu Perisa I, 1993 diterbitkan Dewan Bahasa dan Pustaka Kualalumpur, Antologi Puisi Indonesia 1997 diterbitkan Angkasa Bandung dan Antologi Puisi 1999 Sumatera Barat oleh Dewan Kesenian Sumatera Barat. Nyanyian Anak Cucu, kumpulan puisi sendiri diterbitkan oleh Angkasa Bandung tahun 2000. Sembilan Puisinya dimuat dalam buku: Sembilan Kerlip Cermin. Antologi Puisi 9 Penyair Perempuan Indonesia Terkemuka. Diterbitkan oleh Pustaka Jaya Jakarta Tahun 2000. Puisinya juga diterbitkan dalam Antologi Penyair Perempuan Se Sumatera: Musim Bermula, tahun 2001 dan dalam: Kemilau Musim, Kumpulan Puisi Penyair Perempuan Indonesia tahun 2003 dan Pesona Gemilang Musim kumpulan Puisi Penyair Perempuan Indonesia II tahun 2004 yang diterbitkan oleh Himpunan Perempuan Seni Budaya Pekanbaru. Ia juga banyak menulis artikel dan memberi makalah dalam bidang seni dan budaya Minang. Dia banyak menulis artikel tentang perempuan di media masa dan menjadi pemakalah dalam banyak seminar. Mengasuh rubrik “Curito Niek Reno” tentang pelajaran adat dan budaya Minangkabau dan dia juga menulis kolom Teras di media Padang Ekspres, juga menjadi nara sumber dalam dialog interaktif di TVRI Sumbar dan Jakarta, Trans TV. Di antara tulisannya adalah: “Matrilineal System in Minangkabau Culture” diterbitkan oleh Bundo Kanduang Sumatera Barat tahun 1994. ”Pola Pikir Perempuan Minangkabau dan Tantangan ke Depan” dalam Jurnal PPIM yang diterbitkan Pusat Pengkajian Islam dan Minangkabau tahun 2003. “Sistem Matrilineal dalam Adat dan Budaya Minangkabau” diterbitkan dalam buku: Minangkabau yang Gelisah, diterbitkan oleh kerja sama: GEBU Minang, Pemda Sumbar, PPIM, LKAAM, Perhimpunan Keluarga Minang Jabar dan Unit Kesenian Minang ITB Bandung tahun 2004. Pemahaman Gender dalam Budaya Minangkabau, diterbitkan dalam buku: Tanah Ulayat dan Budaya Padi Minangkabau oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Yayasan Padi Indonesia tahun 2005. Dia salah seorang penyunting buku: Setampang Benih, penghormatan kepada Prof. Dr. Ir. H. Jurnalis Kamil, diterbitkan oleh Fakultas Pertanian Unand Padang tahun 2000. Di samping menjadi editor tulisannya: Kodrat Hidup Benih, juga diterbitkan dalam buku Setampang Benih tersebut dan banyak lagi tulisan2nya. Dia mengekspose: Matrillineal System in Minangkabau Culture kepada anggota parlemen wanita Jerman tahun 1994 dan anggota FAWA 1995 di Padang dan kepada masyarakat Minangkabau di Singapura pada tahun 1997. Sejak tahun 1989 dia menjadi pengurus Bundo Kanduang Sumatera Barat dan menjadi Ketua I Bundo Kanduang Sumbar. Ia juga salah seorang pendiri dan pengasuh grup dan Yayasan BUMI Padang. Pendiri dan Ketua Silek Tuo dan randai Cindo Mato Pagaruyung. Ia juga salah seorang dewan pakar Gebu Minang, Putireno mulai jadi dosen sejak tahun 1978 sampai sekarang. Mengasuh mata kuliah Teknologi Benih, Adat dan Kebudayaan Minangkabau pada Fakultas Pertanian Unand Padang. Sekarang sedang menyelesaikan program S3 nya pada program Pascasarjana Unand. Dia tinggal bersama suami dan ketiga anaknya di sebuah rumah di Jalan Gelugur H2 Wisma Indah II Lapai Padang 25142. Alamat emailnya: putireno@yahoo.com.
Sinan tentu heran, kenapa Ando begitu lengkap dan detail memperkenalkan teman yang satu ini. Ando pikir, tidaklah perlu Sinan heran atau bertanya-tanya kenapa Ando harus memperkenalkannya dengan cara seperti ini. Ando ingin, bagaimanapun juga, suka atau tidak suka, kita harus memberikan penghargaan yang pantas untuk tokoh-tokoh perempuan yang sudah diakui masyarakat luas. Seperti Putireno misalnya, dia seorang sastrawan, penyair, pemikir kebudayaan, yang setiap minggu mengunjungi kampung-kampung dan negeri-negeri memberikan pencerahan terhadap pelaksanaan adat dan budaya. Dia seorang ilmuwan, dosen yang tidak berambisi untuk meraih jabatan apapun di kampusnya. Kehidupan keluarganya tidak pernah terbetik terberita dalam cek dan recek televisi. Dia hidup aman, beribadat dan menjalankan adat dan agama sebaiknya. Dia bukan seorang penipu, dia bukan koruptor, bukan pejabat tinggi, tidak termasuk dalam daftar pencarian orang oleh pihak kepolisian. Apakah seorang perempuan seperti ini tidak perlu Ando perkenalkan pada Sinan? Atau, apakah Sinan hanya mau mengenal perempuan yang suka membuat gosip, perempuan yang terkenal karena goyang pinggulnya yang aduhai, karena kesukaan yang kawin cerai, karena tidak mau menyusukan anak-anak takut susunya akan kendor dan kecantikan akan berkurang, karena perempuan itu suka hidup bebas, bepergian dengan pejabat-pejabat tinggi ke luar daerah, ke hotel-hotel, jadi perempuan simpanan yang disurukkan di rumah-rumah mewah? Perempuan seperti itukah yang Sinan mau tahu? Yang seperti itu? Iya? Tidak Sinan! Ando tidak akan memperkenalkan perempuan demikian pada Sinan. Kalau Ando berbuat seperti itu, memperkenalkan perempuan-perempuan santapan gosip demikian, pastilah dalam pikiran Sinan, Ando termasuk ke dalam kelas dan jenis perempuan seperti itu pula. Cukuplah Ando dikenal sebagai perempuan nyinyir, konyol, suka menggerutu kian kemari, bicara tidak fokus dan tidak terarah, bicara tanpa pertimbangan politik dan keuntungan-keuntungan pribadi. Biarlah. Namun Ando gembira, ternyata dengan keadaan Ando begini, Sinan masih tetap juga ingin mendengarkan apa yang Ando sampaikan bukan?
*
Untuk malapeh taragak jo kawan lamo melepaskan kerinduan kepada seorang teman lama, Ando menyediakan waktu untuk bersama-sama dengan Putireno. Kami bicara berbagai hal. Kadang-kadang kami bertengkar, marah-marah, saling menuding dan memaki-maki. Sekali-sekali kami seperti kanak-kanak, tertawa cekikikan saling remas-remasan rambut. Mandi bersama dan saling berolok-olok terhadap bentuk tubuh yang sudah berubah. Membicarakan anak-anak kami yang semuanya sudah dewasa. Semua yang terasa, semua yang terpikirkan, kami diskusikan sampai larut malam dan masing-masing saling meluahkan rasa sesal, rasa tak berdaya, rasa tertipu dan merasa-rasakannya. Seakan kami berada dalam situasi yang sangat damai, bebas merdeka, tidak ada basa-basi, tidak ada rasa was-was dan permusuhan. Begitulah Sinan, apabila satu sama lain sudah saling dekat dan menyatu, dunia ini langsung tercipta menjadi sebuah dunia yang aman dan damai. Akan tetapi bila satu sama lain saling tertutup, saling tak percaya, saling bercuriga, menyimpan dendam masa lalu, rasa bermusuhan yang tidak kunjung dapat dihilangkan, rasa bersaing yang terus menerus, rasa berkelompok-kelompok sehingga satu sama lain menjadi eksklusif, berpartai-partai dengan berbagai intrik dan fitnah, dunia ini pasti akan serasa terkotak-kotak, sempit dan setiap detik nyawa serasa berada dalam ancaman.
Putireno setiap selesai sembahyang subuh dia selalu menulis. Diam-diam dihidupkan laptopnya dan jari-jari tangannya yang panjang-panjang itu bermain lincah menyentuh tuts-tuts keyboard. Kacamatanya semakin lama semakin melorot sampai batas hidungnya yang mancungnya lari ke dalam itu. Disangkanya Ando tidak tahu apa yang dikerjakan, karena Ando setiap selesai subuh Ando selalu berzikir, tafakur dan kadang-kadang membaca al-Quran. Sebenarnya Ando sangat memperhatikan setiap gerak yang dilakukannya selama berada di samping Ando.
Ketika Ando tanyakan, apakah dia menulis sebuah novel atau makalah, Putireno menggeleng. Sesuatu yang tidak menarik buat orang lain, katanya sambil memperbaiki letak kacamatanya. Ando penasaran juga. Apa benarlah yang ditulisnya. Katanya dia pulang untuk mengurus warisan kaumnya, apa pula yang harus ditulis-tulis? Sewaktu Putireno menemui beberapa orang tamunya yang datang dari Pahang, kesempatan itu Ando gunakan mengutak-atik laptopnya yang masih menyala. Ando ingin tahu, apa benar yang telah ditulisnya? Kenapa dikatakannya tulisannya tidak ada gunanya untuk orang lain? Ando ingin membuktikan apa yang dikatakannya. Benarkah apa yang telah ditulisnya itu tidak menarik? Tidak menarik untuk siapa? Untuk Ando? Untuk Sinan? Atau untuk dirinya sendiri?
Ando klik Window Explorer. Keluar banyak sekali direktori yang bersusun sampai ke bawah layar monitornya. Mata Ando terpaut dengan sebuah direktori dengan teks huruf kapital; DYD Raja Pagaruyung. Langsung saja Ando klik direktori ini. Wah! Sederet direktori lagi muncul; Silsilah, Tambo, Ranji, Raja, Tokoh, Kaum, Keluarga, Foto, Istano dan beberapa lagi. Ando klik lagi direktori Istano, beberapa file beruntun turut seperti baru saja diluncurkan dari atas layar monitor. Banyak sekali nama-nama filenya. Beberapa buah nama file itu adalah nama-nama yang pernah Ando temukan dalam beberapa buku bacaan dan pernah pula Ando diskusikan dengan bapak anak-anak Ando. Muning Syah, Reno Sori, Reno Sumpu, Yang Dipertuan Gadis, Istano Silinduang Bulan, Ranji Limbago, Silsilah DYD, Alam Surambi Sungai Pagu, Negeri Sembilan, Kinali, dan entah apa lagi yang Ando kurang perhatikan, karena mata Ando tertuju pada beberapa file yang memakai nama-nama yang Ando kenal.
Mulanya, Ando klik file Muningsyah. Laptop canggih ini segera berganti layar dengan teks sebagai berikut;

YANG DI PERTUAN SULTAN ALAM MUNINGSYAH

(dari berbagai sumber)
Tuanku Raja Muning Alamsyah atau juga yang disebut Yang Dipertuan Sultan Alam Muningsyah adalah raja alam Pagaruyung yang secara luar biasa selamat dari tragedi pembunuhan di Koto Tangah, Tanah Datar pada tahun 1809 dalam masa Perang Paderi berkecamuk di Minangkabau. Tahun terjadinya tragedi ini dipertikaikan. Christine Dobin mencatatkan dalam Kebangkitan Islam Dalam Ekonomi Petani Yang Sedang Berubah, (Inis, Jakarta 1992) tragedi tersebut terjadi pada tahun 1815, sebagaimana yang juga ditulis Rusli Amran dalam Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang, (Sinar Harapan, Jakarta 1981).
Menurut A.A.Navis dalam Alam Terkembang Jadi Guru (Penerbit PT Pustaka Grafiti pers, Jakarta 1984 cetakan pertama) tragedi tersebut bermula dari pertengkaran antara kaum Paderi dengan kaum adat yang diwakili oleh raja beserta pembesar kerajaan lainnya. Menurut MD Mansur dkk. dalam Sejarah Minangkabau (Penerbit Bharata, Jakarta, 1970) perundingan tersebut diadakan pada tahun 1809. Padamulanya dilakukan dengan iktikad baik oleh Tuanku Lintau, telah beralih menjadi sebuah pertengkaran. Menurut Dr.Muhammad Zafar Iqbal dalam bukunya “Kafilah Budaya” yang diterbitkan oleh Citra Jakarta 2006 menyatakan pada tahun 1809 orang-orang Wahabi di Kototangah melakukan pembunuhan masal terhadap Sultan Minangkabau, keluarga dan para pengikutnya yang merupakan para pemeluk mazhab Syi’ah Qaramitah. Menurut Muhamad Radjab dalam bukunya Perang Paderi, (Penerbit Balai Pustaka, Jakarta, 1964 cetakan kedua) hal itu terjadi juga pada tahun 1809. Karena ikut campurnya Tuanku Lelo, salah seorang tokoh Paderi yang ambisius dari Tapanuli Selatan. Beberapa orang dari keluarga raja seperti Tuanku Rajo Naro, Tuanku di Talang dan seorang putra raja lainnya dituduh tidak menjalankan aqidah Islam secara benar, oleh karena itu mereka anggap kapir dan harus dibunuh. Perundingan berubah menjadi pertengkaran dan berlanjut menjadi pembunuhan. Semua rombongan raja beserta Basa Ampek Balai dan para penghulu lainnya terbunuh. Daulat Yang Dipertuan Muningsyah dapat menyelamatkan diri dengan cara yang ajaib sekali. Baginda bersama cucu perempuannya Puti Reno Sori menghindar ke Lubuk Jambi Kuantan.
Menurut silsilah raja-raja Pagaruyung, Puti Reno Sori bersaudara dengan Sultan Alam Bagagar Syah, pada masa yang sama menyingkir ke Padang. Sultan Alam Bagagar Syah, Puti Reno Sori dan tiga saudara mereka lainnya adalah anak dari Tuan Gadih Puti Reno Janji dan ayahnya Yang Dipertuan Fatah. Sewaktu Sultan Alam Bagagar Syah dinobatkan menjadi raja alam menggantikan datuknya Sultan Alam Muningsyah, saudara sepupunya Sultan Abdul Jalil Yamtuan Garang yang berada di Buo dikukuhkan menjadi Raja Adat dengan gelar Yang Dipertuan Sembahyang II.
A.A. Navis dalam Alam Terkembang Jadi Guru, mencatat bahwa Daulat Yang Dipertuan Muningsyah wafat pada 1825 dalam usia 80 tahun. Baginda dimakamkan di pemakaman raja-raja Minangkabau, ustano rajo di Pagaruyung.
Sinan! Ando jadi heran sendiri. Apa Putireno ini seorang ahli sejarah? Kenapa dia harus menulis Raja Pagaruyung itu seperti orang yang sedang menyiapkan sebuah buku? Tapi nantilah Sinan. Nanti kita diskusikan. Ini menarik sekali.
Kemudian Ando klik file Sutan Alam Bagagar Syah, segera keluar teksnya;

DAULAT YANG DIPERTUAN
SULTAN ALAM BAGAGAR SYAH
Raja Alam Pagaruyung
(ringkasan dari beberapa rujukan)
Berdasarkan Silsilah Ahli Waris Daulat yang Dipertuan Raja Alam Pagaruyung, Daulat Yang Dipertuan Sultan Tangkal Alam Bagagar Syah yang dikenal juga dengan panggilan Yang Dipertuan Hitam mempunyai empat orang saudara; Puti Reno Sori, Tuan Gadih Tembong, Tuan Bujang Nan Bakundi dan Yang Dipertuan Batuhampar, hasil perkawinan dari Daulat yang Dipertuan Sultan Alam Muningsyah (II) yang juga dikenal dengan kebesarannya Sultan Abdul Fatah Sultan Abdul Jalil (I) dengan Puti Reno Janji Tuan Gadih Pagaruyung XI.
Daulat Yang Dipertuan Sultan Tangkal Alam Bagagar Syah menikah pertama kali dengan Siti Badi’ah dari Padang mempunyai empat orang putera yaitu: Sutan Mangun Tuah, Siti Hella Perhimpunan, Sutan Oyong (Sutan Bagalib Alam) dan Siti Sari Gumilan.
Dengan isteri keduanya Puti Lenggogeni (kemenakan Tuan Panitahan Sungai Tarab) mempunyai satu orang putera yaitu Sutan Mangun (yang kemudian menjadi Tuan Panitahan SungaiTarab salah seorang dari Basa Ampek Balai dari Kerajaan Pagaruyung).Sutan Mangun menikah dengan Puti Reno Sumpu Tuan Gadih Pagaruyung ke XIII (anak Puti Reno Sori Tuan Gadih Pagaruyung XII dan kemenakan kandung dari Sultan Alam Bagagarsyah).
Dengan isteri ketiganya Tuan Gadih Saruaso (kemenakan Indomo Saruaso, salah seorang Basa Ampek Balai Kerajaan Pagaruyung) mempunyai putera satu orang: Sutan Simawang Saruaso (yang kemudian menjadi Indomo Saruaso).
Dengan isteri keempatnya Tuan Gadih Gapuak (kemenakan Tuan Makhudum Sumanik) mempunyai putera dua orang yaitu Sutan Abdul Hadis (yang kemudian menjadi Tuan Makhudum Sumanik salah seorang Basa Ampek Balai dari Kerajaan Pagaruyung) dan Puti Mariam. Sutan Abdul Hadis mempunyai delapan orang putera yaitu: Sutan Badrunsyah, Puti Lumuik, Puti Cayo Lauik, Sutan Palangai, Sutan Buyung Hitam, Sutan Karadesa, Sutan M.Suid dan Sutan Abdulah. Puti Mariam mempunyai dua orang putera; Sutan Muhammad Yakub dan Sutan Muhammad Yafas (kemudian menjadi Tuan Makhudum Sumanik)
Adik perempuan dari Daulat Sultan Alam Bagagarsyah yaitu Puti Reno Sori yang kemudian dinobatkan menjadi Tuan Gadih Pagaruyung XII menikah dengan saudara sepupunya Daulat Yang Dipertuan Sultan Abdul Jalil Yamtuan Garang Yang Dipertuan Sembahyang II Raja Adat Pagaruyung, mempunyai seorang puteri yaitu Puti Reno Sumpu Tuan Gadih Pagaruyung XIII. Puti Reno Sumpu dengan suami pertamanya Sutan Ismail Raja Gunuang Sahilan mempunyai seorang puteri; Puti Sutan Abdul Majid. Sedangkan dengan suami keduanya; Sutan Mangun Tuan Panitahan Sungai Tarab (putera dari Sultan Alam Bagagarsyah) mempunyai seorang puteri; Puti Reno Saiyah Tuan Gadih Mudo (Tuan Gadih ke XIV). Puti Reno Saiyah ini menikah dengan Sutan Badrunsyah Penghulu Kepala Nagari Sumanik (putera dari Sutan Abdul Hadis dan cucu dari Sultan Alam Bagagarsyah) mempunyai putera empat orang yaitu: Puti Reno Aminah Tuan Gadih Hitam Tuan Gadih Ke XV, Puti Reno Halimah Tuan Gadih Kuniang, Puti Reno Fatimah Tuan Gadih Etek dan Sultan Ibrahim Tuanku Ketek.
Puti Reno Aminah dengan suami pertamanya Datuk Rangkayo Basa, Penghulu Kepala Nagari Tanjung Sungayang mempunyai seorang puteri; Puti Reno Dismah Tuan Gadih Gadang (Tuan Gadih Pagaruyung XVI) dan dengan suami keduanya Datuk Rangkayo Tangah dari Bukit Gombak mempunyai putera satu orang; Sutan Usman Tuanku Tuo.
Puti Reno Dismah Tuan Gadih Gadang menikah dengan Sutan Muhammad Thaib Datuk Penghulu Besar (ibunya Puti Siti Marad adalah cucu dari Sutan Abdul Hadis dan cicit dari Sultan Alam Bagagarsyah, sedangkan ayahnya Sutan Muhammad Yafas adalah anak dari Puti Mariam dan cucu dari Sultan Alam Bagagarsyah) mempunyai putera enam orang: Puti Reno Soraya Thaib, Puti Reno Raudhatuljannah Thaib, Sutan Muhammad Thaib Tuanku Mudo Mangkuto Alam, Puti Reno Yuniarti Thaib, Sutan Muhammad Farid Thaib, Puti Reno Rahimah Thaib.
Sutan Usman Tuanku Tuo menikah dengan Rosnidar dari Tiga Batur (cicit dari Sutan Mangun anak Sutan Alam Bagagarsyah) mempunyai putera delapan orang: Puti Rahmah Usman, Puti Mardiani Usman, Sutan Akmal Usman Khatib Sampono, Sutan M .Ridwan Usman Datuk Sangguno, Sutan Rusdi Usman Khatib Muhammad, Puti Rasyidah Usman, Puti Widya Usman, Sutan Rusman Usman, Puti Sri Darma Usman.
Puti Reno Halimah Tuan Gadih Kuniang tidak mempunyai putera.
Puti Reno Fatimah Tuan Gadih Etek menikah dengan Ibrahim Malin Pahlawan dari Bukit Gombak mempunyai putera tiga orang; Puti Reno Nurfatimah Tuan Gadih Angah, Puti Reno Fatima Zahara Tuan Gadih Etek dan Sutan Ismail Tuanku Mudo.
Puti Reno Nurfatimah Tuan Gadih Angah menikah dengan Sy.Datuk Marajo dari Pagaruyung mempunyai seorang putera; Sutan Syafrizal Tuan Bujang Muningsyah Alam.
Puti Reno Fatima Zahara menikah dengan Sutan Pingai Datuk Sinaro Patiah Tanjung Barulak (adalah cicit dari Puti Fatimah dan piut dari Sultan Abdul Jalil Yamtuan Garang Yang Dipertuan Sembahyang ) II mempunyai putera delapan orang; Sutan Indra Warmansyah Tuanku Mudo Mangkuto Alam, Sutan Indra Firmansyah, Sutan Indra Gusmansyah, Puti Reno Endah Juita, Sutan Indra Rusmansyah, Puti Reno Revita, Sutan Nirwansyah Tuan Bujang Bakilap Alam, Sutan Muhammad Yusuf.
Sutan Ismail Tuanku Mudo menikah dengan Yusniar dari Saruaso (adalah cicit dari Yam Tuan Simawang anak Sultan Alam Bagagarsyah) mempunyai putera tujuh orang; Sutan Fadlullah, Puti Titi Hayati, Sutan Satyagraha, Sutan Rachmat Astra Wardana, Sutan Muhammad Thamrinul Hijrah, Puti Huriati, Sutan Lukmanul Hakim.
Sutan Ibrahim Tuanku Ketek dengan isteri pertamanya Dayang Fatimah dari Batipuh (kemenakan Tuan Gadang Batipuh) mempunyai seorang putera; Sutan Syaiful Anwar Datuk Pamuncak; dengan istri keduanya Nurlela dari Padang mempunyai seorang putera: Sutan Ibramsyah dan isteri ketiganya Rosmalini dari Buo mempunyai puteri dua orang: Puti Roswita dan Puti Roswati.
Dari kutipan Silsilah Ahli Waris Daulat Yang Dipertuan Raja Alam Pagaruyung dapat dilihat bahwa ahli waris baik berdasarkan garis matrilineal maupun patrilineal adalah anakcucu dari Puti Reno Sumpu Tuan Gadih Pagaruyung ke XIII yang sampai sekarang mewarisi dan mendiami Istano Si Linduang Bulan di Balai Janggo Pagaruyung Batusangkar.
Setelah mamaknya Sultan Alam Bagagarsyah ditangkap Belanda pada tanggal 2 Mei 1833 dan dibuang ke Batavia dan ayahnya Daulat Yang Dipertuan Abdul Jalil Yang Dipertuan Sembahyang II mangkat di Muara Lembu, maka Yang Dipertuan Gadih Puti Reno Sumpu dijemput oleh Datuk-datuk Yang bertujuh untuk kembali ke Pagaruyung melanjutkan tugas mamak dan sekaligus tugas ayahnya sebagai Raja Alam dan Raja Adat.
Sesampainya di Pagaruyung, ternyata tidak ada lagi istana yang berdiri di Pagaruyung karena telah dibumi hanguskan. Kemudian pemerintah Belanda menawarkan bantuan untuk mendirikan istananya di Gudam atau di Kampung Tengah atau di Balai Janggo. Beliau memilih mendirikan istananya di Balai Janggo dengan alasan dekat dengan padangnya, Padang Siminyak (diceritakan oleh cucu beliau Puti Reno Aminah Tuan Gadih Hitam kepada penulis). Nama Istano Si Linduang Bulan kembali dipakai (nama istana tempat kediaman Raja Pagaruyung sejak dulu) untuk nama istana yang baru itu, sekaligus sebagai pengganti dari istana-istana raja Pagaruyung yang terbakar semasa Perang Paderi.
Istana Si Linduang Bulan ini kemudian terbakar lagi pada tanggal 3 Agustus 1961. Atas prakarsa Sutan Oesman Tuanku Tuo ahli waris Daulat Yang Dipertuan Raja Alam Pagaruyung beserta anak cucu dan keturunan; Tan Sri Raja Khalid dan Raja Syahmenan dari Negeri Sembilan, Azwar Anas Datuk Rajo Sulaiman, Aminuzal Amin Datuk Rajo Batuah, bersama-sama Sapiah Balahan, Kuduang Karatan, Timbang Pacahan, Kapak Radai dari Daulat Yang Dipertuan Raja Alam Pagaruyung serta Basa Ampek Balai dan Datuk Nan Batujuh Pagaruyung, Istana Si Linduang Bulan dibangun kembali dan diresmikan pada tahun 1989.
*
Ando semakin tak percaya bahwa Putireno itu seorang sastrawan, lebih tepat kalau dia jadi sejarawan. Tapi biarlah Sinan. Sebentar lagi mungkin Putireno selesai dengan tamunya yang dari Pahang itu. Kalau dia tahu Ando telah mengutak-atik laptopnya, bisa-bisa kami akan saling bertengkar dan saling menuding lagi atau sebaliknya, tertawa cekikikan. Namun, Ando tetap saja tidak puas akan karangan-karangan yang ditulisnya. Lalu Ando klik lagi sebuah file, Abdul Jalil. Langsung ke luar teks;
SULTAN ABDUL JALIL YANG DIPERTUAN SEMBAHYANG
Sultan Abdul Jalil Yang Dipertuan Sembahyang II pada usia yang sangat muda tahun 1821 telah dinobatkan sebagai Raja Ibadat di Sumpur Kudus. Tak lama kemudian pada tahun 1825 diapun dinobatkan sebagai Raja Adat di Buo dan jabatan raja ibadat tetap dipangkunya. Pada tahun 1833 Sultan Abdul Jalil Yang Dipertuan Sembahyang dikawinkan dengan Yang Dipertuan Gadih Puti Reno Sori dengan status permaisuri dan melahirkan seorang anak yang bernama Puti Reno Sumpu yang lahir pada tahun 1834. Setelah Belanda menangkap dan mengasingkan Sultan Alam Bagagarsyah Yang Dipertuan Raja Alam Pagaruyung pada tahun 1833, secara otomatis Sultan Abdul Jalil Yang Dipertuan sembahyang II memegang kekuasaan Raja Alam Pagaruyung. Dengan Demikian Sultan Abdul Jalil Yang Dipertuan Sembahyang adalah orang pertama dari kerabat Diraja Pagaruyung yang menduduki tiga tahta dari Raja Nan Tigo Selo.
Pada tahun 1840 Belanda mengajak Sultan Abdul Jalil Yang Dipertuan Sembahyang untuk berunding di Limo Kaum Batusangkar, dalam perundingan itu Belanda mengusulkan agar Sultan Abdul Jalil kembali bertahta di Pagaruyung dan akan dibangun istana yang megah dan diberi tunjangan sebesar 2.000 gulden tiap bulannya. Sultan Abdul Jalil Yang Dipertuan Sembahyang II mengajukan syarat, dia baru mau berunding membicarakan hal tersebut setelah kakak sepupunya dikembalikan ke Pagaruyung. Belanda secara tegas menolak persyaratan tersebut dan akhirnya perundingan itu bubar tanpa hasil. Sultan Abdul Jalil Yang Dipertuan Sembahyang II kembali ke tempat pengungsiannya di Sumpur Kudus.
Beliau kembali didaulat oleh Basa Ampek Balai dan Datuak Bandaro Kuniang Limo Kaum untuk mempertimbangkan tawaran Belanda tersebut. Tapi secara tegas beliau menjawab dengan ucapan “ Denai indak akan manjua Ranah Minang ko untuak mandape’an kasanangan duniawi apo lai mengorbankan rakyat, memang gadang tunjangan 2.000 gulden tio’ bulannyo yang diagiah dek Belando tapi katahuilah akan jauah balipek gando yang dipunguik dek balando dari rakyat, oleh sebab itu bialah denai malanjui’an palawananko terhadap Balando dari Sumpur Kudus”. Sebagai sikap tegas Sultan Abdul jalil Yang Dipertuan Sembahyang II tersebut maka Belanda mendirikan benteng dan pusat perlawanan di Buo, dari situlah Belanda secara sistematis baik melalui serangan-serangan bersenjata maupun politik adu domba menekan perlawanan Sultan Abdul Jalil Yang Dipertuan Sembahyang II dari Sumpur Kudus.
Akibat tekanan terus menerus dari Belanda akhirnya Sultan Abdul jalil Yang dipertuan Sembahyang II memindahkan pusat pemerintahan di pengungsian ke Muara Lembu Kuantan Singingi. Ke Muara Lembu inilah Sultan Abdul Jalil Yang Dipertuan Sembahyang II menghindar.
Pada tahun 1869 beliau berangkat menuju Singapura guna meneruskan perjalanan ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji. Akan tetapi dalam perjalanannya tersebut mengiliri Batang Kuantan sesampainya di negeri Cerenti beliau mengalami sakit yang akhirnya beliau mangkat dan dimakamkan di negeri Cerenti. Disamping mempunyai permaisuri beliau juga mempunyai tiga orang istri lainnya yaitu Ociek Cute dari nagari Cubadak Limo Kaum melahirkan seorang putri bernama Ociek Puti Salasai. Istri lainnya adalah Ociek Puti Fatimah Tanjuang Barulak dan Ociek Lintau di tepi Selo Lintau.
Ando klik sebuah file lagi, ke luar teks;
YANG DIPERTUAN GADIS PUTI RENO SUMPU
Daulat Yang Dipertuan Raja Alam Pagaruyung terakhir
Yang Dipertuan Gadis Puti Reno Sumpu dikenal juga dengan Dipertuan Gadih Bungkuak karena diusia tuanya bungkuk dan Yang Dipertuan Gadih Berbulu Lidah karena lidahnya berbulu adalah seorang bangsawan dari dinasti Kerajaan Pagaruyung yang dilahirkan pada tahun 1836 dinegeri yang bernama Sumpur Kudus dari ayahnya yang bernama Sultan Abdul Jalil gelar Yang Dipertuan Sembahyang II dengan permaisuri yang bernama Yang Dipertuan Gadis Puti Reno Sori atau biasa juga dipanggil Yang Dipertuan Gadis Halus.
Puti ini diberi nama Yang Dipertuan Gadis Puti Reno Sumpu karena ia dilahirkan di tempat pengungsian keluarga raja-raja Pagaruyung di Sumpur Kudus. Setelah terjadi tragedi berdarah dengan dilakukannya pembunuhan dan perburuan besar-besaran yang dilakukan terhadap kerabat Diraja Pagaruyung oleh tentara Padri dibawah pimpinan Tuanku Lelo di Kototangah tahun 1809. Sultan Abdul Jalil gelar Yang Dipertuan Sembahyang II kawin dengan permaisurinya Yang Dipertuan Gadih Puti Reno Sori adalah perkawinan dalam lingkungan keluarga dekat karena Sultan Abdul Jalil gelar Yang Dipertuan Sembahyang II adalah kemenakan dari ayah Yang Dipertuan Gadih Puti Reno Sori yaitu Yang Dipertuan Patah. Sedangkan Yang Dipertuan Gadih Puti Reno Sori adalah adik kandung dari Sultan Alam Bagagarsyah. Sultan Abdul Jalil Yang Dipertuan Sembahyang II adalah pengganti Raja Alam Minangkabau Yang Dipertuan Sultan Alam Bagagarsyah. Setelah Yang Dipertuan Sultan Alam Bagagarsyah ditangkap dan diasingkan ke Betawi pada tahun 1833 dengan tuduhan melakukan pemberontakan dan pengkhianatan terhadap kekuasaan kolonial Belanda. Sebelum menduduki tahta Raja Alam Pagaruyung Sultan Abdul jalil Yang Dipertuan Sembahyang II telah menjadi Raja Ibadat di Sumpur Kudus dan juga Raja Adat di Buo. Dengan demikian berarti Sultan Abdul Jalil Yang Dipertuan Sembahyang II pada waktu menduduki tahta Raja Alam Pagaruyung sekaligus juga menjadi Raja Ibadat di Sumpur Kudus dan Raja Adat di Buo. Hal ini disebabkan pada saat itu dialah satu-satunya kerabat Diraja yang laki-laki telah dewasa. Sultan Abdul Jalil Yang Dipertuan Sembahyang II beserta permaisurinya Yang Dipertuan Gadih Puti Reno Sori serta satu-satunya putri mahkota yang bernama Yang Dipertuan Gadih Puti Reno Sumpu terpaksa memindahkan pusat pemerintahan sementara dari Sumpur Kudus ke Muara Lembu Kuantan Singingi. Setelah didesak terus oleh pasukan Belanda yang berpusat di Batusangkar dan di Buo. Sultan Abdul Jalil Yang Dipertuan Sembahyang II kemudian mangkat dalam pengungsiannya dan dimakamkan di Ustano Rajo di pinggir sungai Batang Kuantan di nagari Cerenti.
Yang Dipertuan Gadih Puti Reno Sumpu dinobatkan sebagai Raja Alam Pagaruyung menggantikan almarhum ayahnya Sultan Abdul Jalil Yang Dipertuan Sembahyang II dan masih bertahta dipengungsiannya di Muara Lembu Kuantan Singingi. Tidak lama kemudian Yang Dipertuan Gadih Puti Reno Sumpu menikah dengan Tuanku Ismail gelar Yang Dipertuan Gunung Hijau seorang raja dari kerajaan Gunung Sahilan Darussalam. Dari perkawinan ini lahirlah seorang anak perempuan yang bernama Puti Reno Sultan Abdul Majid yaitu nama yang sudah disediakan jauh-jauh hari sebelumnya karena mengharapkan seorang anak laki-laki. Pada tahun 1869 Basa Ampek Balai serta Niniak Mamak Nan Batujuah dari Pagaruyung dengan persetujuan residen Belanda di Padang menjemput dan mendaulat yang Dipertuan Gadih Puti Reno Sumpu untuk kembali ke Pagaruyung. Dalam perjalanan rombongan Basa Ampek Balai dan Niniak Mamak Nan Tujuah dari Pagaruyung terjadi pengkhianatan yang dilakukan seorang bernama Umar Atuak Kancia dengan maksud menggagalkan upaya menjemput atau mengembalikan Yang Dipertuan Gadih Puti Reno Sumpu ke Pagaruyung. Pengkhianat tersebut dibunuh oleh Datuak Bijayo dan Datuak Rajo Aceh. Setelah kembali ke Pagaruyung Yang Dipertuan Gadih Puti Reno Sumpu membangun kembali istananya di Balai Janggo di bekas Istana Silinduang Bulan yang dibumihanguskan oleh pasukan Padri pada tahun 1821. Untuk menunjang kehidupan keluarga Yang Dipertuan Gadih Puti Reno Sumpu Belanda memberi tunjangan Onderstand. Disebabkan suaminya Sultan Ismail Yang Dipertuan Gunung Hijau, Raja kerajaan Gunung Sahilan tidak dapat lama-lama meninggalkan kerajaannya dan setelah beberapa lama mendampingi istrinya akhirnya ia kembali ke Gunung Sahilan dan mereka bercerai. Sebagai gantinya Yang Dipertuan Gadih Puti Reno Sumpu kemudian menikah dengan perdana Mentrinya yaitu Sultan Mangun gelar Datuak Bandaro Putiah Tuanku Penitahan Sungai Tarab. Sultan Mangun adalah anak dari Daulat Yang Dipertuan Raja Alam Pagaruyung Sultan Alam Bagagarsyah (mamak kanduang dari Yang Dipertuan Gadih Puti Reno Sumpu). Dan melahirkan anak yang bernama Puti Reno Saiyah gelar Yang Dipertuan Gadih Mudo. Setelah dewasa Puti Reno Saiyah Yang Dipertuan Gadih Mudo menikah dengan Sutan Badrun Syah Penghulu kepala Nagari Sumaniak. Sutan badrun Syah ini anak tertua dari Sultan Abdul Hadis Makhudum Syah Sumaniak sedangkan Sultan Abdul Hadis ini anak dari Yang Dipertuan Sultan Alam Bagagarsyah, dari perkawinan inilah lahir 4 (empat) orang anak yaitu;
1. Puti Reno Aminah Gelar Yang Dipertuan Gadih Hitam
2. Puti Reno Halimah Gelar Yang Dipertuan Gadih Kuniang
3. Puti Reno Fatimah Gelar Yang Dipertuan gadih Ketek
4. Sultan Ibrahim Gelar Yang Dipertuan Tuanku Ketek
Sedangkan kakaknya Puti Reno Sultan Abdul Majid tidak menikah sampai akhir hayatnya.
Dalam kiprahnya setelah kembali ke Pagaruyung ada beberapa keberhasilan yang patut dicatat dari yang Dipertuan gadih Puti Reno Sumpu;
1. Secara berangsur-angsur beliau menata kembali susunan pemerintahan adat, setelah diporak-porandakan oleh para pasukan Padri dan Belanda
2. Menata kembali tata hubungan Pagaruyung dengan raja-raja dari Sapiah Balahan, Kuduang Karatan dan dengan Kapak Radai, Timbang Pacahan dari kerajaan Pagaruyung.
3. Atas usul beliau Belanda membangun jalan tembus dari Batusangkar ke Lintau, Batusangkar ke baso dan jalan Lingkar Pagaruyung dari Batusangkar ke Sawahlunto dan Batusangkar ke Sitangkai.
4. Atas jaminan pribadinya membebaskan datuk-datuk di Pagaruyung dan Padang Lua III Koto yang memimpin perlawanan terhadap Belanda guna menentang perlakuan perlakuan Blasting (perpajakan) yang memberatkan rakyat.
Dari keempat cucu Yang Dipertuan Gadih Puti Reno Sumpu inilah keturunan pewaris Daulat Yang Dipertuan Raja Alam Pagaruyung yang ada sekarang. Yang Dipertuan Gadih Reno Sumpu akhirnya mangkat pada tahun 1912 pada usianya yang ke 76 tahun.
(dari beberapa catatan keluargaku)
Putireno muncul di pintu ruang tengah. Tamu-tamunya sudah pergi. Tampaknya dia puas sekali, karena dikunjungi oleh kaum kerabatnya dari Pahang. Dilihatnya Ando sedang berada di depan laptopnya. Dia terkejut segera berlari mendekati Ando. Langsung dia merangkul Ando dan menyeret Ando menjauh dari laptopnya. Dia tidak marah, tidak memaki-maki, tetapi dia hanya menarik nafas panjang sambil melihat Ando dengan arif.
Malamnya, Ando terlibat diskusi dengan Putireno. Diskusi yang panjang, penuh dengan kelakar dan teriak-teriakan melepaskan emosi-emosi yang tertahan. Setalah kami sembahyang Isya, dibukanya kembali laptopnya. Dipersilahkannya Ando melihat apa yang Ando mau lihat. Heran. Kenapa dia membuka catatan-catatan keluarganya pada malam seperti ini. Ando mengangguk, karena setuju untuk mengetahui dirinya lebih banyak.
Dikliknya sebuah file, sederet teks muncul. Ando melotot melihatnya.

ISTANO SI LINDUANG BULAN

Rumah Gadang Tuan Gadih Pagaruyung Istano Si Linduang Bulan yang berdiri di Melayu Ujung Kapalo Koto atau di Balai Janggo Pagaruyung kecamatan Tanjung Emas Kabupaten Tanah Datar Propinsi Sumatera Barat adalah rumah pusaka dari Keluarga Besar Ahli Waris Daulat Yang Dipertuan Raja Pagaruyung. Diresmikan pada tanggal 21 dan 23 Desember 1989. Merupakan pengganti Rumah Tuan Gadih Pagaruyung Istano Si Linduang Bulan yang terbakar pada 3 Agustus 1961. Merupakan untaian dari sejarah yang panjang yang tak terputuskan dari masa kerajaan Pagaruyung tempo dulu.
Nama Si Linduang Bulan adalah nama yang diberikan kepada Istana Raja Pagaruyung setelah dipindahkan dari Ulak Tanjuang Bungo ke Balai Janggo pada tahun 1550 oleh Daulat Yang Dipertuan Raja Gamuyang Sultan Bakilap Alam (Sultan Alif Kalifatullah Johan Berdaulat Fil’Alam I) Raja Alam sekaligus memegang jabatan Raja Adat dan Raja Ibadat Pagaruyung, sebagai penanda awalnya perhitungan tahun menurut tarikh Islam, sekaligus berlakunya secara resmi hukum syariat Islam di seluruh kerajaan Pagaruyung menggantikan hukum-hukum yang bersumber dari agama Budha Tantrayana. Kemudian Istano Si Linduang Bulan ini di renovasi/ dibangun lagi pada tahun 1750, karena Istano lama telah tua dan mulai runtuh. Pada tahun 1821 Istano Si Linduang Bulan terbakar dalam kecamuk Perang Padri. Pada tahun 1869 Istano Si Linduang Bulan dibangun lagi oleh Yang Dipertuan Gadih Puti Reno Sumpu kemenakan kandung dari Sultan Tangkal Syariful Alam Bagagar Syah Yang Dipertuan Hitam dan anak dari Yang Dipertuan Gadih Reno Sori dengan Sultan Abdul Jalil Yang Dipertuan Sembahyang II (pemegang jabatan Raja Adat, Raja Ibadat dan Raja Alam) setelah Sultan Tangkal Syariful Alam Bagagar Syah Yang Dipertuan Hitam dibuang Belanda Ke Betawi. Istano Si Linduang Bulan yang ada sekarang didirikan kembali di tapak Istano yang terbakar pada tahun 1961. Pembangunannya dimulai pada tahun 1987 dan diresmikan pada tahun 1989. Diprakarsai oleh Drs. Sutan Oesman Yang Dipertuan Tuanku Tuo Ahli Waris Daulat Yang Dipertuan Raja Pagaruyung, Tan Sri Raja Khalid bin H. Raja Harun, Raja Syahmenan bin H.Raja Harun, Aminuzal Amin Datuk Raja Batuah, Basa Ampek Balai, ninik mamak Nagari Pagaruyung, anak cucu keturunan dari Daulat Yang Dipertuan Raja Pagaruyung dalam kaitannya sebagai “Sapiah Balahan, Kuduang Karatan”. Kemudian didorong sepenuhnya oleh Ir. H. Azwar Anas Gubenur Sumatera Barat.
Sedangkan pembangunan Istano Si Linduang Bulan dibiayai secara bersama oleh keluarga ahli waris dan anak cucu keturunan serta zuriat dari Daulat Yang Dipertuan Raja Pagaruyung beserta masyarakat adat.
Peresmiannya dilakukan dalam sebuah upacara adat kebesaran, melibatkan para pemangku adat se alam Minangkabau: Basa Ampek Balai, Tuan Gadang Batipuah, Tampuak Tangkai Alam di Pariangan, Gajah Gadang Patah Gadiang di Limo Kaum, Simarajo Nan Sambilan, Langgam Nan Tujuah, Lubuak Nan Tigo, Tanjuang Nan Ampek, Sapiah Balahan Kuduang Karatan, Kapak Radai, Timbang Pacahan dan zuriat keturunan Daulat Yang Dipertuan Raja Pagaruyung. Dihadiri para pejabat Tinggi Negara, Pemerintah Daerah Sumatera Barat, Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kodya se Sumatera Barat. Serta Undangan Khusus yang datang dari Kerabat Raja Negeri Sembilan, Sri Sultan Hamengkubuono X, dari Brunei Darussalam, keluarga Paku Alam dan Sisingamangaraja.
Di Pagaruyung terdapat dua buah istana. Pertama, Istano Si Linduang Bulan, yang berdiri di Balai Janggo Pagaruyung, sebagai istana pengganti dari istana raja yang terbakar, sebagaimana yang dijelaskan di atas. Kedua, Istano Basa, yang mulai dibangun pada tahun 1976 di Padang Siminyak Pagaruyung (letaknya satu kilometer dari Istano Si Linduang Bulan) di atas tanah milik keluarga ahli Waris Raja Pagaruyung yang dipijamkan kepada pemerintah selama bangunan tersebut masih berdiri. Istano Basa didirikan atas biaya sepenuhnya dari pemerintah daerah Sumatera Barat yang berfungsi sebagai musium dan objek kunjungan wisata, sedangkan istano Si Linduang Bulan dibiayai oleh ahli waris dan anak cucu keturunan dari Daulat yang Dipertuan Raja Pagaruyung.
Pada 27 Februari 2007 Istano Basa terbakar disambar petir meluluh lantakkan semua bangunan tersebut.
Ando tentu saja semakin heran dengan Putireno. Ternyata apa yang ada disekitarnya dicatatnya dengan lengkap dan baik. Ketika Ando menanyakan buat apa semua itu dilakukannya, Putireno tersenyum. Dijawabnya, hal ini sudah dikatakannya sejak awal, bahwa semua catatannya sangat tidak menarik bagi orang lain. Catatannya ini bukan bagian dari sebuah cerita penglipur lara, tetapi sebuah catatan yang perlu diketahui oleh anak cucu dan keturunan berikutnya.
*
Ando masih saja penasaran dengan dosen pertanian yang sok ahli sejarah ini. Namun, bagaimanapun juga Ando mencemoohnya, Ando tidak dapat menolak kenyataan, bahwa dari sekian banyak perempuan yang Ando temui, mungkin hanya Putireno inilah yang punya kesadaran terhadap nilai-nilai kesejarahan dari apa yang telah dialami. Ando saja, yang juga punya kesadaran terhadap peninggalan-peninggalan dan warisan-warisan, tetapi Ando tidak punya pikiran untuk mewariskan data, informasi kepada generasi yang akan datang kemudian. Apalagi, Ando ini orang Minang sejati. Tanda orang Minang sejati adalah, dia lebih percaya pada apa yang diucapkan daripada apa yang dituliskan. Itulah sebabnya dalam mamangan adatnya dinukilkan, nan pusako kato, yang dimaksud dengan pusaka adalah kata!
Beberapa hari menjelang kembali menjalankan tugas-tugas mengajarnya, Putireno tampak sekali sibuknya. Dia mencari sesuatu di kamarnya. Bongkar sana, bongkar sini, tidak ada sesuatu yang ditemukannya selain kesemrawutan ruangan. Dia letih dan duduk di tepi pintu. Malamnya, dia cepat tidur karena kesal, apa yang dicarinya tidak ditemukan. Ketika Ando akan mengganti pakaian, mengambil pakaian ganti di dalam lemari, sebundel kertas terperosok ke lantai. Ando kira kertas-kertas apa. Sudah kumal dan bahkan ada yang remuk.
Ando tidak bisa tidur malam itu. Pikiran Ando tersita dengan cara hidup Putireno, terutama kesadarannya mencatat semua apa yang dialami. Yang membuat Ando terpurangah adalah, semua yang ditulisnya itu adalah nama-nama raja Pagaruyung, yang mau tidak mau, disadari atau tidak adalah nenek moyang dari Putireno sendiri. Namun, selalu saja Putireno seakan tidak mengacuhkan hal itu, padahal dia membuat catatan yang lengkap dan rapi sekali.
Ketika Ando rebahkan badan untuk memulai berangkat tidur, bundelan kertas yang melongsor dari lemari dan masih tergeletak di lantai kamar, Ando ambil dengan malas dan membukanya. Ternyata tulisan-tulisan seperti susunan puisi. Ando langsung menebak, inilah rupanya yang dicari Putireno. Beberapa halaman Ando coba membacanya dengan malas. Akhirnya Ando duduk, membaca puisi-puisi itu. Masih dalam tulisan tangan. Ando segera bangunkan Putireno dan mengatakan, apakah yang dicarinya bundelan puisi-puisinya? Putireno mengangguk dan Ando memberikan bundelan itu.
Bukan main senangnya Putireno menemukan bundel puisinya. Dicium-ciumnya bundelan itu. Dibukanya halaman demi halaman dan perlahan-lahan dibacakannya pada Ando. Ini adalah catatan tentang mendirikan Istano Silinduang Bulan, katanya sambil mengambil kacamatanya.
KATAKANLAH
1.
Katakanlah
Rumah itu kembali berdiri
Atas kedermawanan dan kemuliaan hati
Yang kita bincang tentang
Kebanggaan sejarah dan turunan
Dalam beribu
Kata sandi
Akankah ku katakan
Di balik tirai dan tabirnya
Kebanggaan hilang
Kehormatan tergadai
Sejarah dipalsukan
Keperihan dalam tertelan
Dibungkus
Persaudaraan
2.
Katakanlah
Turunan itu turunanmu
Dirajut dalam silsilah panjang
Bermula dari Adam
Dan berakhir pada dirimu
Akankah ku katakan
Bersaudara kita mungkin
Sepusaka jelas bukan
Katakanlah
Dalam resah zaman ini
Akankah ku katakan
Semua kan jadi sejarah
Tersimpan dalam catatan
Terpahat di sini
Di gerbang perjalanan ini
1992
Ando yang tidak terlibat langsung dengan persoalan yang dihadapi Putireno terisak mendengar bagaimana dia membacakan puisinya. Ada semacam dendam yang dilulurnya dalam-dalam. Ketika Ando menghapus genang setetes air di ujung mata Ando, Putireno kembali melanjutkan membaca catatannya yang lain.
DI SEBERANG HALAMAN
Kepada Yang Dipertuan Gadis Puti Reno Sori)
Dari halaman ini
Kubaca
Kebencian dan dendam
Yang meluluh lantak panggung sejarah
Langit dan tanah merah jingga
Dalam gebalau peristiwa
Dari halaman ini
Kusimak
Langkah bergegas pasti
Menapaki pelarian panjang
Harum bunga tanjung
Tinggalkan tepian
Menghilir sungai sungai
Dari halaman ini
Kujalin helai helai rindu
Dalam rahimku
Dalam nafasku
Dari halaman ini
Sajakku menguak
Beribu dusta dan pengkhianatan
1992
Setelah membacakan puisi itu, dia mengatakan Tuan Gadih Puti Reno Sori adalah saudara perempuan Sultan Alam Bagagar Syah. Ibu dari Tuan Gadih Reno Sumpu. Nanti saya akan bacakan catatan saya tentang beliau, katanya. Dibukanya bundelan itu lebih teliti, dan dipisahkannya beberapa lembar kertas dan dibacanya.
DI SEBERANG SUARA
(Kepada Daulat Yang Dipertuan Hitam – Sultan Alam Bagagar Syah)
Kain cindai selempangmu
Bewarna tanah bunga kecubung
Melambai hidupku
Di sini
Masih kudengar getar suaramu:
“Pulanglah kau
Takkan kujejak lagi Pagaruyung”.
Pucuk rebung destarmu
Merah berpermata
Biru manikamnya
Di sini
Masih menikam diriku
Saat empat puluh pengiringmu
Pulang mengabarkan duka
Kau dibuang ke Tanah Jawa
Curik Simalagiri kerismu
Bertatah lukisan Bhairawa
Di sini
Masih terhunjam
Dalam nadiku
Saat mereka menyeretmu
Meninggalkan tanah pusaka
Segenggam saja
Segenggam tanah kuburmu
Kubawa juga pulang
Kusatukan dengan tapak
Kebanggaan negeri kita
Biar kau dibuang
Nisanmu berlumut
Dalam gunjing
Sepotong saja
Sepotong batu nisanmu
Kubawa juga pulang
Kutancapkan di pandam
Kebenaran
Segenggam saja
Segenggam tanah kuburmu
Kubawa juga pulang
Kusemai bagi turunanmu
Penyubur tumbuhnya kejujuran
Kuhidupkan
Dalam bait bait sajakku
1992
Sebelum dia melanjutkan membaca puisi berikutnya, dibukanya kacamatanya dan dikatakannya bahwa Pucuk rebung itu adalah nama dari salah satu motif tenunan Minangkabau sedangkan Bhairawa adalah gambar dewa bertatah emas pada keris yang dipakai Raja Adhityawarman. Kemudian dibacanya puisi yang lain.
DI SEBERANG WAKTU
(Kepada Daulat Yang Dipertuan Sembahyang)
Mungkinkan
Tirai pelaminan terangkat
Degup harap Reno Sori dipersandingkan
Di tepian rantau ini
Dan Yang Dipertuan Sembahyang
Tafakur dalam doa doanya
Mungkinkan
Langit peristiwa tersingkap
Hingga aku melihat
Kau masih bersila
Tunduk dalam zikir zikirmu
Di tepian zaman ini
Mungkinkan
Kelambu nasib terkuak
Hingga aku dapat menghitung
Merenungi kembali
Langkah langkahmu yang hilang
Di galau tepian ini
Mungkinkan
Jendela diriku terbuka
Di tepian waktu ini
Kan kubarut luka dukamu
Dengan rindu kanak kanakku
Di seberang waktu ini
Arus terus berpusar
Menjilati seluruh sendi hidup
Mungkinkan aku menemuiMu
1992
Putireno melanjutkan. Yang Dipertuan Sembahyang juga dikenal dengan nama Sultan Abdul Jalil. Seorang raja Pagaruyung yang sangat taat beribadat dan tidak mau menyerah pada penjajah. Lalu dibacanya puisinya yang lain.
DI SEBERANG HARI
(Kepada Yang Dipertuan Gadis Puti Reno Sumpu)
Entah siang dia datang
Entah malam dia tiba
Di jendela masa lalu
Berdiri antara tangis dan ratap
Bergegas pulang
Dalam gemuruh badai zaman
Melewati bulan dan matahari
Tahun dan musim
Menancapkan batu sandi
Di tanah yang dipilihnya
Sendiri
Entah berlalu siang
Entah berlalu malam
Di tirai hari ini
Antara sangsai dan sangsi
Menyusun kembali
Cermin hidup yang terserak
Menjalin kembali
Benang kasih yang kusut
Dengan tangannya
Sendiri
Entah sapa siapa
Entah tegur siapa
Di beranda dunia
Berdiri antara kisah dan sejarah
Terbungkuk beban harap
Antara kepunahan dan kehilangan
Jejak langkah
Membasuh kembali
Kehidupan yang kusam
Dengan jari jari
Perempuannya
Sendiri
Entah unggun siapa
Entah unggun di mana
Asapnya mengepul menabur harap
Dari cerana yang disuguhkannya
Menghirup aroma hidup
Zaman ini
1992
Putireno menangis. Dia tidak melanjutkan membacakan puisi-puisinya yang lain. Ketika Ando tanyakan kenapa menangis, dia dengan cepat melulur isakannya. Dengan terbata-bata dikatakannya bahwa dirinya sekarang dirasakannya seperti Puti Reno Sumpu itu. Tanpa ada saudara laki-laki, dia harus menyelesaikan persoalan warisan sejarah yang ditinggalkan oleh mamaknya Sultan Alam Bagagar Syah dan yang ditinggalkan ayahnya Sultan Abdul Jalil. Begitupun Putireno sekarang, semua warisan sejarah itu sedang digerogoti dari berbagai pihak, dan tidak banyak dari kaumnya yang punya perhatian dan memahami sejarah apalagi yang mampu untuk menjelaskan, mempertahankan apa yang menjadi bagian dalam perjalanan kehidupan dan keberadaan kaumnya.
*
Sebenarnya banyak hal yang ingin Ando dengar dari Sinan terhadap persoalan yang tengah dihadapi teman Ando itu. Sebab, pernah semalaman kami bicara tentang sesuatu yang belum Ando dengar. Bahkan sesuatu yang berada di luar perkiraan sama sekali. Dia mengharapkan agar Ando dapat menyimpan rahasia, apabila diceritakannya persoalan dirinya yang paling dalam. Andopun berjanji untuk tetap berahasia. Tetapi di sini pulalah naifnya Ando. Semakin banyak rahasia yang Ando ketahui, semakin menggebu-gebu keinginan Ando untuk menyampaikannya kepada Sinan. Mungkin Ando bisa Sinan tuduh sebagai seseorang yang tidak bisa menerima amanah, menyimpan rahasia. Itulah kekonyolan, kekurangan dan ketidakberdayaan Ando. Mungkin Ando tidak mampu menyimpan rahasia disebabkan Ando sangat terpengaruh oleh kalimat yang diucapkan Anggun Nan Tongga kepada ibunya; Rahasia apakah yang dapat disimpan selagi masih berada di bumi ini? Tak satupun! Aku ingin sesuatu yang jelas!
Teman Ando itu, Putireno, walaupun tampak sebagai perempuan yang tegar dan dingin, kadang-kadang sikap keningratannya muncul tanpa kendali, aristokrat, sesungguhnya dia adalah seorang perempuan yang lembut, kalau menurut istilah Ando sendiri, indak panyampai hati, tidak tega. Sampai sebelum dia berangkat subuh tadi, ujung matanya masih menyisakan setetes air yang dihapusnya dengan ujung selendangnya. Ando terharu dan memeluknya dengan sekuat-kuatnya, supaya Ando dapat merasakan apa yang dirasakannya.
Bayangkan Sinan, bagaimana dia dihukum oleh perasaan bersalah semenjak dia masih gadis kecil. Diceritakannya pada Ando, bahwa dia secara sengaja telah melanggar apa yang dilarang ibu dan neneknya. Ada sebuah kotak perak yang tidak terlalu besar, sengaja disimpan oleh neneknya di dalam tiang utama. Tiang utama itu terbuat dari kayu yang sangat besar, sebagaimana biasanya bangunan-bangunan lama lainnya. Di tiang itu dibuat sebuah ceruk untuk menyimpan kotak perak kecil itu. Kemudian ditutup lagi dengan potongan kayu agar tidak terlihat jelas. Oleh karena ada larangan dari nenek agar anak dan cucu tidak boleh melihat sebelum semuanya dewasa, keingintahuan Putireno semakin menjadi-jadi. Akhirnya dengan berbagai cara, dia dapat membuka kotak perak kecil itu.
Ketika kotak perak itu dibukanya, tiba-tiba membersit sebuah cahaya terang yang menyilaukan matanya. Cahaya itu hanya memancar beberapa saat. Setelah cahaya itu menghilang, tampak sebuah perhiasan sebesar lengkung kepala manusia dewasa. Mungkin emas berpermata, atau mutu manikam, atau entah apa. Beberapa saat kemudian Putireno pingsan. Semua keluarganya heboh, terlebih lagi nenek. Namun nenek tidak memberikan hukuman pada Putireno, tetapi justru tersedu sambil berucap; tidak semua warisan yang boleh diketahui dan dilihat. Warisan itu memang milik kita, tetapi tidak semua milik kita yang sanggup kita pandang. Sejak itu, setiap malam, nenek Putireno terus menangis, tetapi dia semakin sayang pada cucunya yang nakal itu. Seminggu setelah Putireno melihat warisan itu, istana terbakar.
Ketika Ando tanyakan, apa gerangan perhiasan yang tidak boleh dilihat sebelum waktunya itu? Mahkota, jawab Putireno bicara lirih. Dan kenapa nenek menyimpannya dengan begitu rahasia? Karena setiap orang akan berusaha merebut mahkota itu, jawab Putireno lagi.
Itulah peristiwa yang menyebabkan Putireno merasa bersalah sampai sekarang. Dia merasa bersalah untuk dua hal, pertama dia telah melanggar larangan neneknya. Kedua, dia telah melihat warisan keluarganya sebelum waktunya. Yang paling menyakitkannya adalah, istana terbakar setelah mahkota itu terbuka dari simpanannya. Rasa bersalah itu semakin hari semakin membesar. Apalagi sekarang, apa yang ditakutkan neneknya mulai terbukti. Setiap orang berusaha untuk jadi raja, dan setiap orang memerlukan sebuah mahkota.
Betul kan Sinan? Apa yang Ando rasakan ternyata sebuah kenyataan, setidak-tidaknya dalam kehidupan Putireno. Orang ingin jadi raja dan untuk itu diperlukan mahkota. Oleh karena mereka tidak pernah mendapatkan mahkota, apa saja yang mungkin dapat dianggap meyakinkan dirinya untuk menjadi raja, dijadikan benda-benda itu untuk melegitimasi dirinya. Mungkin pelegitimasian itu berbentuk keris, harta karun, gong atau benda-benda lainnya. Sebaliknya, Putirno dengan kaumnya, sengaja menyembunyikan mahkotanya.
Sampai di sini otak Ando berhenti berpikir. Bagaimana menurut Sinan persoalan yang kini tengah kita hadapi? Bagaimana kita bersikap terhadap orang-orang yang ingin menjadi raja tapi tanpa mahkota, sementara orang yang punya mahkota tidak mau memperlihatkan mahkotanya? Bagaimana Sinan?
Sementara Sinan berpikir mencari jawab, baiklah Ando teruskan apa yang menjadi obsesi Putireno dalam hidupnya. Dikatakannya pada Ando, sejak dia membuat kesalahan yang menurutnya adalah kesalahan paling fatal dalam hidupnya, di samping dia merasa bersalah, dia juga merasa berhutang. Berhutang kepada sejarah. Sekiranya mahkota itu tidak dilihatnya ketika masih gadis kecil, tetapi dalam umur yang sesuai untuk melihat dan menjamah warisan itu, tentulah persoalan warisan kaumnya tidak bernasib seperti sekarang. Sekarang ini, pusaka milik kaumnya digerogoti oleh orang-orang tertentu. Persoalan tanah, istana dan hak warisan sejarah. Orang-orang tertentu berusaha mengaburkan dan kemudian merampoknya. Itulah sebabnya dia pulang untuk mengurus segala yang menyangkut warisan kaumnya.
Tentu Sinan bertanya-tanya, masih adakah mahkota itu sekarang? Siapa yang menyimpannya? Bila mahkota itu akan dapat dilihat? Siapa di antara keluarga kaum Putireno yang akan memakainya? Benarkah yang akan menerima mahkota itu adalah salah seorang dari generasi ketujuh dalam perkauman mereka?
Ya, pertanyaan Sinan itu, juga menjadi pertanyaan bagi Ando. Ando telah tanyakan semua itu padanya. Dengan berbisik dijawabnya, ternyata tidak semua hak kita takluk kepada kita. Tidak semua warisan kita langsung dapat menjadi milik kita. Ada yang lebih berkuasa untuk menentukan segalanya.
Allah subhanahuwata’ala?
Ya, jawabnya pasti.
*
Sulit sekali bagi Ando untuk tidak menjawab pertanyaan yang diajukan Putireno. Malam tadi dia menanyakan, apakah Ando juga tahu tentang warisan Raja Pagaruyung yang kini sedang terkatung-katung di luar negeri? Kalau Ando jawab tidak tahu, sedangkan Ando memang tahu, tentu Ando berdusta. Kalau Ando jawab tahu, sedangkan persoalan itu seharusnya adalah persoalan Putireno, jangan-jangan Ando dianggap sok tahu dengan persoalan orang lain. Kemarin-kemarin ini, Ando tidak mau memunculkan persoalan itu, karena menurut Ando semua itu adalah cerita orang yang bermimpi tengah hari, atau seperti cemooh nenek Ando, manggantang asok, menggantang asap.
Sebagaimana yang pernah Ando ceritakan pada Sinan, – tapi waktu itu Sinan kan hanya terkekeh-kekeh saja mendengarnya karena menganggap apa yang Ando sampaikan hanyalah mimpi seorang yang ingin kaya cepat tanpa mau berusaha keras – bahwa kini orang-orang tertentu sedang menyusun sebuah skenario besar untuk mendapatkan harta warisan Raja Pagaruyung. Persoalan warisan ini tampaknya berkembang terus. Jadi, cerita yang akan Ando sampaikan kepada Sinan berikut ini bukan lagi warisan tanah pusaka, benda-benda bersejarah, mahkota atau sejarah kerajaan Pagaruyung, tetapi harta warisan Raja Pagaruyung yang terkatung-katung di luar negeri.
Ando pernah kesal pada Bang Sawan tempo hari, bagaimana dia bersama saudara-saudaranya membujuk Ando datang ke istana tua di Terengganu. Di sana Ando mereka jadikan sebagai detektor untuk menentukan tempat di mana harta karun raja Terengganu itu tersimpan, apakah di tepi sungai, di bawah masjid atau di bawah istana. Kesal sekali, tapi Ando tidak dapat berbuat apa-apa selain mengikuti apa yang mereka inginkan. Ya, demi persahabatan dan kekeluargaan, kata Sinan. Kini, Ando pun terseret pula dengan masalah harta warisan yang lebih dahsyat, yang nilainya tak terkira, harta warisan milik Raja Pagaruyung!
Kalau tidak salah, seingat Ando, Ando pernah bercerita pada Sinan tentang seorang teman bapak anak-anak Ando, Datuk Sigoto namanya. Datuk Sigoto pernah berkunjung beberapa kali ke rumah kami. Dia memberitahu tentang adanya harta warisan Raja Pagaruyung yang masih terkatung-katung, menunggu pewaris yang sah menerimanya. Datuk Sigoto mengatakan, bahwa dia sendiri mendapat informasi dari Pak Muhammad Natsir. Bahkan dia ditugaskan Pak Natsir mencari siapa pewaris raja Pagaruyung yang berhak menerima harta warisa itu. Bayangkan Sinan. Harta warisan! Sinan tentu mau mendengarkan cerita Ando ini, bagaimana pula tentang persoalan harta warisan raja. Begini ceritanya. Dengar Sinan. Dengar.
Di ujung akan berakhirnya Perang Paderi, seorang Raja Pagaruyung yang tidak mau menyerah kepada Belanda menghindar ke daerah rantaunya di Kuantan. Tentara Belanda terus mencari untuk menangkapnya, sebagaimana sebelumnya Belanda berhasil menangkap Raja Pagaruyung, Sultan Alam Bagagar Syah. Raja yang menghindar itu meneruskan perjalanannya ke Makkah. Sesampainya di sana, baginda disambut sebagai Raja Tanah Minangkabau dan diberi penghormatan tertinggi oleh kerajaan Saudi Arabia dengan menyerahkan sebuah kawasan untuk tempat tinggal di Taif. Penghormatan seperti ini biasa dilakukan kerajaan Saudi Arabia kepada raja-raja dari negeri atau kerajaan Islam datang melakukan ibadah haji.
Setelah Raja Pagaruyung kembali ke Minangkabau, tanah itu tetap menjadi hak Raja Pagaruyung. Beberapa puluh tahun kemudian, Saudi Arabia membangun kerajaannya sebagai negara petro dollar dari kekayaan minyaknya yang melimpah. Taif diperluas dan dipermodern. Tanah Raja Pagaruyung itu pun terkena perluasan kota. Pemerintah Saudi Arabia tetap menghormati hak Raja Pagaruyung itu. Tanah yang terkena perluasan diganti. Karena tidak ada ahli waris raja Pagarayung yang diketahui lagi oleh pihak kerajaan Saudi Arabia, uang itu disimpan di bank.
Ketika pak Natsir menjadi Ketua persatuan negara-negara Islam, Rabithah Alam Islamy, Pemerintah Saudi Arabia meminta jasa baik Pak Natsir untuk mencari ahli waris raja Pagaruyung. Apalagi Pak Natsir diketahui sebagai salah seorang tokoh Islam yang berasal dari Minangkabau. Pemerintah Saudi Arabia ingin memberikan uang penggantian tanah di Taif itu kepada ahli waris raja Pagaruyung. Itulah sebabnya pak Natsir meminta bantuan Datuk Sigoto mencari ahli waris. Bayangkan Sinan, uang sedemikian banyak tersimpan begitu lama di sebuah bank ditambah lagi dengan bunganya! Seandainya berhasil kita peroleh, kita akan kaya tujuh generasi tanpa bekerja setitik keringatpun. Sangat menyilaukan jumlah uangnya Sinan! Banyak sekali, banyak!
Padamulanya, Ando menganggap cerita-cerita tentang harta warisan dan sebagainya itu sebagai sesuatu yang lazim muncul dalam masyarakat yang kehidupan mereka sedang mengalami kesulitan keuangan. Semakin miskin seseorang, semakin tinggi mimpinya untuk jadi kaya. Semakin sulit kehidupan seseorang semakin nikmat mimpinya tentang kemewahan. Semakin merasa tak dihargai seseorang, semakin tinggi keinginannya untuk dihormati. Hal itu sudah lumrah terjadi di dalam masyarakat manapun juga di dunia ini.
Beberapa waktu yang lalu, Ando menerima dua orang tamu dari Bogor. Mereka ditugaskan mencari ahli waris yang sah dari Raja Pagaruyung, karena ada surat-surat kuno, terutama surat keterangan tentang tanah yang harus segera dijemput oleh keluarga ahli waris raja Pagaruyung ke Bogor. Surat-surat itu dulu dititipkan Presiden Sukarno kepada ahli raja Kerajaan Tarumanegara yang kini menetap di Bogor. Jadi kedua tamu Ando itu adalah utusan dari pinisepuh kerajaan Tarumanegara. Dengan tambahan cerita ini, Ando jadi berpikir-pikir juga, mungkin benar apa yang dikatakan Datuk Sigoto. Tapi Ando masih saja bingung. Apa benar ini? Apa sangkut pautnya surat-surat itu dengan tanah raja Pagaruyung yang di Taif sana?
Dengar Sinan, dengar dulu. Jangan bertanya dulu. Nanti. Ando lanjutkan cerita ini. Selain persoalan uang yang jumlah berjuta rial itu menunggu ahli waris raja Pagaruyung yang sah, muncul pula khabar lain yang hampir pasti pula kebenarannya. Di penghujung Perang Paderi itu juga, Pemerintah Belanda seperti yang Ando ceritakan tadi, berhasil menangkap Sultan Alam Bagagar Syah Raja Pagaruyung dan ditawan di Betawi. Ketika pemerintah Belanda menerapkan politik etisnya, beberapa orang dari ahli waris dan keturunan Raja Pagaruyung itu diberi uang (onderstaan) setiap bulan. Kemudian terjadi perubahan politik. Indonesia membebaskan diri dari penjajahan Belanda. Walaupun jejak ahli waris raja Pagaruyung tidak diketahui lagi oleh pihak kerajaan Belanda, namun mereka tetap melanjutkan bantuannya kepada ahli waris raja Pagaruyung. Sampai sekarang, pemerintah Belanda tidak tahu lagi siapa yang harus menerima uang bantuan itu, namun uang itu terus dikeluarkan dari perbendaharaan kerajaan Belanda dan disimpan di sebuah bank di Nedherland. Sekarang uang itu menumpuk banyak sekali. Entah mana-mana pula banyaknya dengan uang yang menunggu di Saudi Arabia itu.
Satu lagi Sinan! Satu lagi! Masih dalam kaitan uang yang harus diterima ahli waris Raja Pagaruyung. Hubungan kerajaan Pagaruyung dengan pihak kerajaan Inggeris mempunyai cerita yang lain pula. Kerajaan Inggeris akhirnya harus membayar perbedaan selisih harga dalam kontrak perjanjian perdagangan antara kerajaan Inggeris dengan kerajaan Pagaruyung yang mereka lakukan sebelum Raffles menyerahkan Bengkulu kepada Belanda. Inggeris juga memberikan hadiah sebagai pengganti hutang budinya kepada Raja Pagaruyung, karena Raffles dalam ekspedisinya ke pusat kerajaan Minangkabau di Tanah Datar mendapat pelayanan yang baik sekali dari salah seorang Raja Pagaruyung. Kedatangan Raffles ditunggu Raja Pagaruyung di Saruaso dengan segala kebesaran dan dianugrahi gelar Yang Kaya Saudagar oleh Raja Pagaruyung. Dengan demikian ada dua sumber keuangan Raja Pagaruyung yang kini tersimpan sebuah bank di Ingeris. Uang itu semakin hari semakin bertambah. Pihak kerajaan Inggeris pun kini menunggu ahli waris Raja Pagaruyung menjemput uang yang banyak itu.
Jadi Sinan, ada tiga negara, Inggeris, Belanda dan Saudi Arabia yang sudah sejak lama siap akan memberikan uang itu kepada ahli waris raja Pagaruyung. Persyaratan utama untuk mendapatkan uang itu adalah – uang itu harus diterima oleh tangan pertama yaitu ahli waris Raja Pagaruyung yang sah -. Untuk menentukan sah atau tidaknya seseorang sebagai ahli waris Raja Pagaruyung ditentukan oleh keberadaan dan kebenaran silsilah ahli waris dan keturunan raja Pagaruyung serta pengakuan dan rekomendasi dari dua atau tiga raja-raja kerajaan lain yang pernah berdaulat di Nusantara.
Nah, bagaimana Sinan? Terlepas dari benar atau tidaknya cerita ini, terlepas pula apakah cerita ini dapat dipercaya atau tidak, yang jelas kini cerita tentang uang yang berjibun itu jumlahnya telah beredar dari mulut ke mulut di antara para petinggi dan pebisnis yang berasal dari Minangkabau. Beredar pula khabar bahwa sudah ada beberapa orang ternama seperti Datuk Dipanyambungan, Datuk Ganggam Baro dan Datuk Lobak Sungai Rombeng, sedang menyusun skenario untuk mendapatkan harta warisan yang jumlahnya MasyaAllah itu!
Target dari skenario itu jelas, bahwa harus ada seorang tokoh, salah satu di antara datuk-datuk yang bertiga itu yang diakui sebagai ahli waris Raja Pagaruyung. Tokoh itu juga harus dapat diterima dan diakui oleh beberapa raja Nusanara. Untuk mendapatkan pengakuan bahwa tokoh itu benar-benar sah menjadi pewaris Raja Pagaruyung, mereka telah menyusun bersama silsilah, mencari benda-benda yang mungkin dapat disebut benda peninggalan sejarah kerajaan Pagaruyung, membuat kontak-kontak dengan berbagai lembaga organisasi adat dan pemerintah daerah.
Seperti Datuk Ganggam Baro misalnya, dia sengaja mengumpulkan beberapa penghulu yang tergabung dalam sebuah lembaga adat, minta lembaga adat tersebut mengakuinya sebagai ahli waris raja yang sah. Dengan alasan yang tidak masuk akal, bahwa Datuk Ganggam Baro telah diakui beberapa raja nusantara sebagai ahli waris yang sah. Jika lembaga adat yang bersangkutan tidak mau memberikan pengakuan serupa, mungkin seluruh orang Minangkabau masa datang akan malu besar, akan menyesal kemudian. Namun lembaga adat tersebut menolak keinginan Datuk Ganggam Baro yang sangat fantastis itu. Tentu saja Datuk Ganggam Baro marah luar biasa dan mengancam akan memberhentikan penghulu-penghulu dalam lembaga adat tersebut dari tugasnya sebagai penghulu kaum.
Lain lagi Datuk Dipanyambungan. Dengan uangnya yang melimpah dia menghasut orang-orang tertentu untuk mengacaukan keadaan. Orang-orang itu dijanjikan sejumlah uang bila mereka berhasil mencaplok tanah warisan kaum ahli waris Raja Pagaruyung yang kini terbentang luas di Pagaruyung. Untuk pencaplokan itu, mereka berkolaborasi dengan oknum pejabat-pejabat bagian pertanahan untuk mengeluarkan sertifikat-sertifikat palsu. Jika nanti usaha mereka berhasil, itulah nanti yang dijadikan bukti, bahwa ahli waris raja yang sah adalah mereka yang memiliki tanah ulayat milik raja.
Sedangkan Datuk Lobak Sungai Rombeng bekerja sebagai penfitnah. Beberapa penulis diberikan berbagai berkas-berkas palsu untuk membatalkan bahwa kaum ahli waris raja Pagaruyung yang ada sekarang adalah nonsen! Secara teratur mereka mempublikasikan tulisan-tulisan pembatalan itu dalam surat-surat kabar yang lemah dana dan lemah iman. Tujuannya hanyalah, untuk mengaburkan pandangan masyakarat luas terhadap keabsahan kaum ahli waris yang sekarang sebagai ahli waris. Jika opini masyarakat sudah terbentuk, tentu dengan mudah mereka akan muncul sebagai ahli waris yang sah.
Dalam konteks inilah Putireno dimusuhi. Silsilah kaumnya dipertanyakan. Sawah ladang milik kaumnya digerogoti dan dijual dengan memalsukan surat-suratnya. Datuk-datuk yang telah berdiri dengan teratur dalam tatanan adat yang ada, mereka kacau. Mereka angkat datuk-datuk baru yang tidak ada kaitannya secara adat dengan masyarakat adat itu sendiri. Tidak hanya sampai di situ, Putireno juga diteror. Diikuti perjalanannya kemana saja dia pergi oleh beberapa orang preman. Dia difitnah dalam berbagai kesempatan. Mereka adakan pertemuan-pertemuan dengan bermacam orang untuk menafikan keluarga kaum Putireno sebagai ahliwaris Raja Pagaruyung. Putireno tidak mau bereaksi, karena takut, kalau-kalau apa yang diucapkannya nanti diplintir, dipolitisir, dan disalah artikan, atau dipenggal-penggal kutipannya yang menyebabkan timbulnya polemik, keributan, yang ujung-ujungnya nanti adalah untuk menggiring keluarga kaum Putireno pada sebuah tuduhan bahwa memang kaum itu tidak layak untuk menjadi ahli waris raja Pagaruyung.
Jika opini demikian dapat mempengaruhi masyarakat luas yang tidak mengerti dengan sejarah dan skenario yang dimainkan, lalu ikut-ikutan pula menyangsikan keluarga kaum Putireno sebagai pelanjut sejarah kerajaan Pagaruyung, maka itulah saatnya Datuk Ganggam Baro, Datuk Dipanyambungan dan Datuk Lobak Sungai Rombeng muncul sebagai ahli waris yang sah. Mereka tidak senang diam lagi di rumahnya. Siang malam, siapa saja yang ditemuinya, mereka menampik dada dan memperkenalkan diri, mereka adalah pewaris raja yang sah. Tanpa rasa malu, segan dan sungkan, dengan sangat berani sekali mengatakan bahwa kaum Putireno bukanlah kaum ahli waris. Mereka adalah orang-orang yang sedang berusaha mengaburkan sejarah Minangkabau. Sambil menyodorkan tangannya kepada setiap orang, datuk-datuk itu mengatakan, silahkan lihat darah saya. Lebih biru daripada darah ahli waris yang ada sekarang. Apa yang Ando ceritakan ini bukan tidak punya kebenarannya Sinan. Di rumah Ando kini ada sebuah majalah terbitan Departemen Dalam Negeri yang secara jelas dan terbuka memuat wawancara mereka sebagai ahli waris raja yang sah. Merekalah generasi ketujuh itu! Hanya merekalah yang mampu membangkitkan kembali marwah, kebanggaan dan kejayaan kerajaan Pagaruyung. Bahkan dengan membentangkan kedua tangan sambil tengadah ke langit, mereka mengatakan bahwa Tuhan telah memberi izin untuk menjadi ahli waris yang sah. Untung saja waktu itu tidak ada burung yang sedang buang kotoran lewat, kalau tidak tentu telah masuk ke dalam mulut mereka yang komat kamit.
Jadi Sinan, jika Ando tidak berhasil mengajak Putireno menemui Sinan sebelum dia pergi, itulah sebabnya. Putireno tidak ingin diketahui kepulangannya maupun kepergiannya oleh orang lain. Dari mana dia, pergi ke mana, hanya dia sendiri yang tahu. Dia harus menjaga keselamatan dirinya, keselamatan kaumnya dan terlebih dari semua itu adalah, dia harus dapat menyelamatkan kebenaran sejarahnya.
Dia minta maaf pada Sinan, juga menyampaikan salam.
*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar